WELCOME

Kisah Nyata Abang Martabak

Kamis, 07 Mei 2009



Batasan Umur : SU (semua Umur)
Kategori : Kisah

Sudah sejak lama sebelum saya menciptakan blog ini saya menemukan kisah – kisah sejati dari orang – orang disekitar saya. Saya bangga bisa bertempat tinggal dekat dengan mereka. Mungkin pembaca ada yang mungkin melihat, merasakan atau bahkan mengalami.

Ini kisah seorang penjual martabak di depan gang rumah saya. Dia sendiri masih muda dan masih cukup usia untuk disebut sebagai pemuda. Memang saya baru – baru ini saja melihat dia berjualan di pinggir jalan dan tepat berada di ujung gang. Menarik memang, seorang blogger seperti saya lebih memilih kisah ini daripada mengambil kisah yang ada di jaman modern ini. Tapi anda sebagai pembaca pasti bisa menilai setelah membaca.

Suatu malam ketika saya menonton TV, ibu saya menyuruh saya untuk membeli martabak. Karena beliau mungkin lapar. Namun ketika saya sampai di tempat dagangnya alangkah terkejutnya saya. Mengapa? Ketika saya datang begitu banyak sekali yang membeli. Padahal saat itu sudah menunjukkan pukul 23:00.

Dalam hati menggerutu, namun ketika saya selami lebih dalam. Dari sore hari ketika ia muncul dengan grobaknya hingga malam kini ia masih bisa tersenyum. Mengapa bisa tersenyum meskipun ia tampak letih? Itu yang saya selami.

Ternyata baginya meski hanya sebagai tukang martabak malam ia masih bisa menghasilkan rezeki yang berlimpah dan men syukurinya meski ia tau hasilnya tak akan membuat dia lebih kaya atau bahkan menjadi miliyarder.

Malam semakin larut namun radio kesayangannya masih ada disampingnya sambil menemaninya. Deru motor/mobil juga tak mau kalah menemaninya. Memang bisa dibilang jualannya memang laris manis di wilayah tempat tinggal saya. Di sela – sela nafas yang tersengal – sengal ia masih bisa mengucap syukur “Alhamdulillah” dan melanjutkan pekerjaannya.
Saya masih menunggu dengan sabar hingga tetes susu kaleng terakhir habis. Namun bukan itu yang saya beli. Saya beli martabak telur bukan manis.

Dengan kelihaian tangannya ia memotong – motong bahan yang akan di goring. Meng aduk telur, dan membanting – banting adonan. sungguh kasihan memang kalau melihat dia seharian bekerja tanpa henti. Namun masih bisa melempar senyum dan bercanda di tengah arus Dampak Krisis Ekonomi Global.

Memang jauh hubungannya, namun daya beli masyarakat dapat turun ketika mengalami ini sehingga pedagang kecil seperti dia bisa mengalami kerugian. Dan otomatis semangatnya selama ini akan hancur. Tapii… itu hanya kalau dampak krisis global tersebut benar – benar menghempasnya. Tapi kenyataannya Allah selalu memberikan bukti. Seorang pekerja keras masih tetap tersenyum meski hasilnya sedikit.

Ketika saya mendapatkan martabak yang saya inginkan ada seseorang yang ingin mengambil jatah saya dan tampaknya lebih kenal dengan abang martabak itu. Namun abang martabak itu lebih adil dan berkata “bentar…itu punya dia…(maksudnya saya)” nah, bahkan pelanggannya sendiri masih diperhatikan se adil – adilnya meski begitu banyak.

Mungkin orang biasa sudah buyar konsentrasinya jika di gempur dengan suara rebut mobil/motor, pelanggan yang mengobrol, atau suara percikan minyak. Tapi ini masih tetap pada pekerjaan nya. Dan akhirnya ia masih bisa melakukan dengan benar dan sempurna hingga mampu membuat senang pelanggannya.

Saya dengar dari dia, pada pukul 23:30 dia sudah harus menutup gerobaknya karena dia harus mengurus dirinya. Namun, ia masih meneruskan pekerjaanya. Nah, satu lagi pelajaran hidup yang didapat. Ia tidak egois dan tetap berusaha keras menyenangi pelanggannya. Akhirnya saya pulang dan merangkai kata – kata demi meng apresiasikan kisah sejati seorang abang martabak ini.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar